Sabtu, 01 Maret 2014

Cogito Ergo Sum

Rene Descartes
Di sebuah era yang rasional, semuanya mau dikuantifikasikan, seolah-olah kebenaran dapat diraih tanpa bantuan kekuatan spiritual-transedental. “Cogito ergo sum” (Aku berpikir, oleh sebab itu aku ada), tulis Rene Descartes beberapa abad yang lalu. Dengan postulat ini, pikiran manusia telah dijadikan satu-satunya parameter untuk mencari daan mengungkapkan kebenaran. Di luar itu adalah ilusi belaka.

Adalah sebuah kesia-siaan bagi mereka yang masih saja percaya kepada yang serba gaib, sesuatu yang berada di luar jangkauan intelektual manusia. Demikianlah postulat Descartes ini telah mempengaruhi jalannya dunia modern sampai batas-batas yang sangat jauh.

Akan tetapi tidak semua manusia hanyut dalam arus besar serba rasional itu, termasuk di belahan bumi Barat. Henri Begson, filsuf rancis, misalnya, tetap berkeyakinan bahwa kekuatan rasio manusia bukanlah segala-galanya. Masih ada dimensi spiritual yang tidak kurang dahsyatnya dibandingkan dengan rasionalitas. Dalam khazanah literatur Islam, sudah lama dikenal dan dikembangkan doktrin sufisme atau tasawuf, bukan saja untuk mengungkapkan kebenaran, tetapi sekaligus untuk meraih kebahagiaan, lahir-batin. Sebagian orang boleh saja tidak sepakat dengan metode spiritual ini, tetapi sebagai sebuah upaya pencarian kebenaran. Jika bukan kebahagiaan, kita harus pula menghargai pilihan orang lain dalam posisi kebebasannya untuk mengaktualisasikan potensi spiritualnya, baik dalam format cinta yang tak bertepi ataupun dalam pengalaman makrifat yang sulit dijelaskan bila orang hanya terpaku oleh postulat Descartes di atas.

Dalam kerangka merasa dan berpikir seperti di ataslah yang akan semakin memperkaya wawasan spiritual kita dalam upaya mendekati “Yang Ada” sebagai sebuah keharusan Metafisika.